Sunday, August 28, 2016

Pernikahan Dini? Penuhi Dulu Syarat-Syarat Ini!



pernikahan dini

Di ruang tipi, saat Abang Mamet ngomongin pernikahan dini didepan adek-adeknya yang masih SMP-SMA gara-gara ngeliat berita di tipi anak ustad kondang nikah dini. Si Kiki adek bungsunya yang kelas 3 SMP bingung. Baru awal Abang Mamet nyeramahin, eh dia malah nanya “Pernikahan dini? Siapa tuh? Maksudnya pernikahan si dini anaknya Engkong Amir gang depan rumah ya?”. Semua orang rumah tepok jidat sekaligus tertawa termasuk Emak yang lagi masak sayur Lodeh di dapur. Ada-ada aja.

Hihi, itu sepengggal cerita tentang keluarga Abah yang lagi ngomongin tentang pernikahan dini guys. Banyak yang belum tahu nih termasuk si Kiki, apa sih pernikahan dini itu?, apa sih dampaknya dari pernikahan dini bagi perkembangan psikologi remaja?, dll. Semua itu akan mimin kupas tuntas di artikel kali ini. Mimin jabarkan sesuai dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan ya, jadi mimin ngga asal sadur sumber dan gak asal tulis aja.


Pernikahan dini adalah pernikahan pada remaja dibawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan resiko kehamilan karena pernikahan dini (usia muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian (Kusmiran, 2011). Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa atau masa usia belasan tahun atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2010)

Nah, kalo ngomongin persentase pernikahan dini, persentasenya masih tergolong tinggi guys, yaitu peringkat 37 di dunia dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Penelitian yang dilakukan BKKBN menunjukkan usia kawin pertama perempuan di perkotaan sekitar 16-19 tahun, sedangkan di perdesaan sekitar 13-18 tahun. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat susah memperoleh pekerjaan layak sehingga orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya daripada menambah beban hidup keluarga.

Budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat seperti anggapan negatif terhadap perawan tua jika tidak menikah melebihi usia 17 tahun atau kebiasaan masyarakat yang menikah di usia sekitar 14-16 tahun menjadi faktor yang mendorong tingginya jumlah perkawinan muda. Orang tua berharap mendapat bantuan dari anak setelah menikah karena rendahnya ekonomi keluarga. Faktor yang mempengaruhi median usia kawin pertama perempuan diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan tempat tinggal (desa/kota) (BKKBN, 2012).

Sampoerno dan Azwar (1987) dalam Ariyani (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan remaja menjadi faktor dalam menentukan usia kawin pertama. Makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong berlangsungnya perkawinan muda. Tingkat pendidikan yang berbeda akan mempengaruhi perilaku yang berbeda pula dalam mengambil keputusan untuk kawin atau tidak kawin. 

Faktor ekonomi juga menjadi salah satu sebab pernikahan dini dilakukan. Sampoerno dan Azwar (1987) dalam Ariyani (2011), menyebutkan bahwa masyarakat seringkali memilih perkawinan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi alasan kemiskinan dan berharap setelah menikah, perekonomian keluarga akan lebih baik.
Faktor sosial dari pernikahan salah satunya adalah akibat dari pacaran. Pacaran merupakan gejala sosial yang dialami oleh remaja yang menginjak masa pubertas. Sampoerno dan Azwar (1987) dalam Ariyani (2011), menyebutkan bahwa perubahan nilai seperti makin longgarnya hubungan pria dan wanita di perkotaan sehingga sering mengakibatkan pernikahan di usia muda. 

Stigma negatif terhadap status perawan tua terhadap anak berusia 17 tahun lebih juga masih melekat di masyarakat. Penelitian yang dilakukan BKKBN tahun 2012 di Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Banten menunjukkan bahwa perempuan dianggap sebagai perawan tua jika belum menikah hingga berusia lebih dari 17 tahun.

Pujihasvuty (2010), dalam bukunya menyatakan bahwa berdasarkan konvensi hak anak, batas awal dewasa adalah usia 18 tahun. Dalam undang-undang perlindungan anak juga menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan anak (usia muda). Perkawinan di usia muda merupakan suatu pelanggaran terhadap hak anak karena anak akan kehilangan hak untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, hak kesehatan dan juga hak anak untuk bermain bersama teman sebayanya.

Jumlah perkawinan usia muda perlu dikurangi karena memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Secara psikologis, anak belum bisa berperan sebagai istri, ibu, dan partner seks sehingga bisa berpengaruh terhadap kejiwaan serta berujung pada perceraian. Semakin muda usia menikah semakin besar peluang untuk memiliki anak lebih banyak sehingga selain berdampak pada peledakan penduduk juga jumlah tanggungan keluarga yang semakin tinggi. Dampak perkawinan usia muda bagi kesehatan diantaranya adalah peningkatan risiko komplikasi medis karena rahim belum siap untuk hamil di usia terlalu muda. Resiko kematian ibu dua kali lipat lebih besar pada kelompok usia 15-19 tahun dibandingkan usia 20-24 tahun saat hamil maupun melahirkan. 

Masalah kesehatan lain yang timbul adalah obstetric fistula. Penyebab fistula diantaranya karena faktor kemiskinan, pernikahan usia muda (early marriage) dan melahirkan terlalu muda. Pernikahan anak dan langsung hamil menyebabkan fistula karena panggul belum sepenuhnya berkembang dan belum siap untuk hamil serta melahirkan. Data WHO 2006 menyebutkan bahwa di Ethiopia dan Nigeria lebih dari 25% kasus fistula dikarenakan hamil sebelum usia 15 tahun, dan lebih dari 50% karena hamil sebelum 18 tahun. Pencegahan fistula adalah dengan cara menunda pernikahan dini dan usia awal melahirkan. 

Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 memberikan batasan 20 tahun, karena hubungan seksual yang dilakukan pada usia dibawah 20 tahun beresiko terjadinya kanker serviks serta penyakit menular seksual. Perkawinan usia dini menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan antara lain pada kehamilan dapat terjadi preeklamspsia, resiko persalinan macet karena besar kepala anak tidak dapat menyesuaikan bentuk panggul yang belum berkembang sempurna. Pada persalinan dapat terjadi robekan yang meluas dari vagina menembus ke kandung kemih dan meluas ke anus. Pada bayi dapat terjadi berat badan bayi lahir rendah dan resiko pada ibu yaitu dapat meninggal (Bunners, 2006).

Kalo menurut mimin sendiri nih, sebenarnya gak ada yang salah dengan yang namanya pernikahan dini. Asalkan keduannya sudah mumpuni, memenuhi syarat dan memiliki kemampuan untuk menjalani rumah tangga nanti. Walaupun kita tahu bahwa usia pernikahan dibawah 20 tahun itu, untuk di negara Indonesia sendiri tergolong masih sangat dini dan dirasa masih belum mampu memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Tapi ada loh salah satu remaja kita di Indonesia yang melakukan pernikahan dini, bahkan dia menikah di umur 17 tahun guys !. Wuihh kebayang kan bagaimana ekstrimnya dia mengambil keputusan yang menurut mimin kece abis (hehehehe). 

Namanya Alvin guys. Anak dari ustad Arifin Ilham. Dia baru-baru ini menjadi pembicaraan hangat karena pernikahan yang dilakukannya dalam usia 17 tahun dengan wanita muallaf tionghoa berumur 20 tahun, Larissa Chou. Banyak pro-kontra yang terjadi setelah merebaknya berita itu. Alvin dirasa masih belum mumpuni untuk menjalani rumah tangga dalam usia 17 tahunnya. Kenyataanya, setelah akhirnya ia memutuskan menikah, alvin menjalani persidangan dulu di Bogor, apakah dia layak untuk lanjut menikah atau tidak.  Setelah menjalani ujian tersebut akhirnya Alvin dinyatakan layak untuk melanjutkan pernikahan.

Semua memang berproses ya guys, alvin juga gak serta merta langsung, dia diperbolehkan untuk menikah dini. Tentunya ada perdebatan. Tapi lagi-lagi itu tergantung dari masing-masing individu menilai diri sendiri apakah memang layak untuk menikah dini. Tentunya juga harus meminta masukan-masukan dari orang tua, tokoh agama, atau teman dan masyarakat untuk bisa meyakini diri agar lebih siap untuk menikah dini. Satu hal yang lebih penting untuk tetap berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan dan keyakinan untuk mengambil keputusan yang tepat.

Admin
Kesehatan Pria Dan Wanita Updated at: 5:47 AM