Di ruang tipi, saat Abang Mamet ngomongin pernikahan
dini didepan adek-adeknya yang masih SMP-SMA gara-gara ngeliat berita di tipi
anak ustad kondang nikah dini. Si Kiki adek bungsunya yang kelas 3 SMP bingung.
Baru awal Abang Mamet nyeramahin, eh dia malah nanya “Pernikahan dini? Siapa
tuh? Maksudnya pernikahan si dini anaknya Engkong Amir gang depan rumah ya?”.
Semua orang rumah tepok jidat sekaligus tertawa termasuk Emak yang lagi masak
sayur Lodeh di dapur. Ada-ada aja.
Hihi, itu sepengggal
cerita tentang keluarga Abah yang lagi ngomongin tentang pernikahan dini guys. Banyak
yang belum tahu nih termasuk si Kiki, apa sih pernikahan dini itu?, apa sih
dampaknya dari pernikahan dini bagi perkembangan psikologi remaja?, dll. Semua
itu akan mimin kupas tuntas di artikel kali ini. Mimin jabarkan sesuai dengan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan ya, jadi mimin ngga asal sadur
sumber dan gak asal tulis aja.
Pernikahan
dini adalah pernikahan pada remaja dibawah usia 20 tahun yang seharusnya belum
siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan
resiko kehamilan karena pernikahan dini (usia muda). Diantaranya adalah
keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi,
anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian (Kusmiran, 2011).
Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa atau masa
usia belasan tahun atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu
seperti susah diatur, terangsang perasaannya dan sebagainya (Sarwono, 2010)
Nah, kalo
ngomongin persentase pernikahan dini, persentasenya masih tergolong tinggi guys,
yaitu peringkat 37 di dunia dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Penelitian yang dilakukan BKKBN menunjukkan usia kawin pertama perempuan di
perkotaan sekitar 16-19 tahun, sedangkan di perdesaan sekitar 13-18 tahun.
Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat susah memperoleh
pekerjaan layak sehingga orang tua lebih
memilih untuk menikahkan anaknya daripada menambah
beban hidup keluarga.
Budaya yang
berkembang di lingkungan masyarakat seperti anggapan negatif terhadap perawan
tua jika tidak menikah melebihi usia 17 tahun atau kebiasaan masyarakat yang
menikah di usia sekitar 14-16 tahun menjadi faktor yang mendorong tingginya
jumlah perkawinan muda. Orang tua berharap mendapat bantuan dari anak setelah
menikah karena rendahnya ekonomi keluarga. Faktor yang mempengaruhi median usia
kawin pertama perempuan diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan tempat
tinggal (desa/kota) (BKKBN, 2012).
Sampoerno
dan Azwar (1987) dalam Ariyani (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan
remaja menjadi faktor dalam menentukan usia kawin pertama. Makin rendah tingkat
pendidikan, makin mendorong berlangsungnya perkawinan muda. Tingkat pendidikan
yang berbeda akan mempengaruhi perilaku yang berbeda pula dalam mengambil
keputusan untuk kawin atau tidak kawin.
Faktor
ekonomi juga menjadi salah satu sebab pernikahan dini dilakukan. Sampoerno dan
Azwar (1987) dalam Ariyani (2011), menyebutkan bahwa masyarakat seringkali
memilih perkawinan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Hal
ini dilatarbelakangi alasan kemiskinan dan berharap setelah menikah,
perekonomian keluarga akan lebih baik.
Faktor
sosial dari pernikahan salah satunya adalah akibat dari pacaran. Pacaran
merupakan gejala sosial yang dialami oleh remaja yang menginjak masa pubertas.
Sampoerno dan Azwar (1987) dalam Ariyani (2011), menyebutkan bahwa perubahan
nilai seperti makin longgarnya hubungan pria dan wanita di perkotaan sehingga
sering mengakibatkan pernikahan di usia muda.
Stigma
negatif terhadap status perawan tua terhadap anak berusia 17 tahun lebih juga
masih melekat di masyarakat. Penelitian yang dilakukan BKKBN tahun 2012 di
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Banten menunjukkan bahwa perempuan
dianggap sebagai perawan tua jika belum menikah hingga berusia lebih dari 17
tahun.
Pujihasvuty
(2010), dalam bukunya menyatakan bahwa berdasarkan konvensi hak anak, batas
awal dewasa adalah usia 18 tahun. Dalam undang-undang perlindungan anak juga
menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan anak (usia
muda). Perkawinan di usia muda merupakan suatu pelanggaran terhadap hak anak
karena anak akan kehilangan hak untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, hak
kesehatan dan juga hak anak untuk bermain bersama teman sebayanya.
Jumlah perkawinan usia muda perlu dikurangi
karena memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Secara psikologis, anak belum
bisa berperan sebagai istri, ibu, dan partner seks sehingga bisa berpengaruh
terhadap kejiwaan serta berujung pada perceraian. Semakin muda usia menikah
semakin besar peluang untuk memiliki anak lebih banyak sehingga selain
berdampak pada peledakan penduduk juga jumlah tanggungan keluarga yang semakin
tinggi. Dampak perkawinan usia muda bagi kesehatan diantaranya adalah
peningkatan risiko komplikasi medis karena rahim belum siap untuk hamil di usia
terlalu muda. Resiko kematian ibu dua kali lipat lebih besar pada kelompok usia
15-19 tahun dibandingkan usia 20-24 tahun saat hamil maupun melahirkan.
Masalah kesehatan lain yang timbul adalah obstetric
fistula. Penyebab fistula diantaranya karena faktor kemiskinan, pernikahan
usia muda (early marriage) dan melahirkan terlalu muda. Pernikahan anak
dan langsung hamil menyebabkan fistula karena panggul belum sepenuhnya
berkembang dan belum siap untuk hamil serta melahirkan. Data WHO 2006
menyebutkan bahwa di Ethiopia dan Nigeria lebih dari 25% kasus fistula
dikarenakan hamil sebelum usia 15 tahun, dan lebih dari 50% karena hamil
sebelum 18 tahun. Pencegahan fistula adalah dengan cara menunda pernikahan dini
dan usia awal melahirkan.
Menurut Undang-Undang
Kesehatan No.36 tahun 2009 memberikan batasan 20 tahun, karena hubungan seksual
yang dilakukan pada usia dibawah 20 tahun beresiko terjadinya kanker serviks
serta penyakit menular seksual. Perkawinan usia dini menyebabkan terjadinya
komplikasi kehamilan dan persalinan antara lain pada kehamilan dapat terjadi
preeklamspsia, resiko persalinan macet karena besar kepala anak tidak dapat
menyesuaikan bentuk panggul yang belum berkembang sempurna. Pada persalinan
dapat terjadi robekan yang meluas dari vagina menembus ke kandung kemih dan
meluas ke anus. Pada bayi dapat terjadi berat badan bayi lahir rendah dan resiko
pada ibu yaitu dapat meninggal (Bunners, 2006).
Kalo menurut
mimin sendiri nih, sebenarnya gak ada yang salah dengan yang namanya pernikahan
dini. Asalkan keduannya sudah mumpuni, memenuhi syarat dan memiliki kemampuan
untuk menjalani rumah tangga nanti. Walaupun kita tahu bahwa usia pernikahan
dibawah 20 tahun itu, untuk di negara Indonesia sendiri tergolong masih sangat
dini dan dirasa masih belum mampu memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Tapi ada
loh salah satu remaja kita di Indonesia yang melakukan pernikahan dini, bahkan
dia menikah di umur 17 tahun guys !. Wuihh kebayang kan bagaimana ekstrimnya
dia mengambil keputusan yang menurut mimin kece abis (hehehehe).
Namanya
Alvin guys. Anak dari ustad Arifin Ilham. Dia baru-baru ini menjadi pembicaraan
hangat karena pernikahan yang dilakukannya dalam usia 17 tahun dengan wanita
muallaf tionghoa berumur 20 tahun, Larissa Chou. Banyak pro-kontra yang terjadi
setelah merebaknya berita itu. Alvin dirasa masih belum mumpuni untuk menjalani
rumah tangga dalam usia 17 tahunnya. Kenyataanya, setelah akhirnya ia
memutuskan menikah, alvin menjalani persidangan dulu di Bogor, apakah dia layak
untuk lanjut menikah atau tidak. Setelah
menjalani ujian tersebut akhirnya Alvin dinyatakan layak untuk melanjutkan
pernikahan.
Semua memang
berproses ya guys, alvin juga gak serta merta langsung, dia diperbolehkan untuk
menikah dini. Tentunya ada perdebatan. Tapi lagi-lagi itu tergantung dari
masing-masing individu menilai diri sendiri apakah memang layak untuk menikah
dini. Tentunya juga harus meminta masukan-masukan dari orang tua, tokoh agama,
atau teman dan masyarakat untuk bisa meyakini diri agar lebih siap untuk
menikah dini. Satu hal yang lebih penting untuk tetap berdoa kepada Allah SWT
agar diberi kekuatan dan keyakinan untuk mengambil keputusan yang tepat.