Dampak Obesitas Pada Anak, Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi telah
menciptakan suatu lingkungan dengan gaya hidup cenderung sadentari dan pola
makan yang enak yang tinggi kalori dan lemak. Kelebihan asupan energi disimpan
dalam jaringan lemak, lama kelamaan akan mengakibatkan terjadinya obesitas
(Mahdia, 2004).
Era
tahun 1990 sampai sekarang di Indonesia masalah gizi berubah, yang tadinya
kurang gizi menjadi kecukupan gizi bahkan beberapa kelompok masyarakat
mengalami masalah gizi berlebih. Meskipun ada juga beberapa orang dan daerah
tertentu yang masih mengalami gizi kurang. Masalah gizi lebih yang dikenal
dengan istilah obesitas (kegemukan) terjadi pada anak-anak, baik pada saat
dilahirkan sampai usia remaja. Penelitian yang dilakukan di empat belas kota
besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif tinggi,
antara 10-20% dengan nilai yang terus meningkat hingga kini. Edukasi nutrisi
anak pada orang tua terus digencarkan, mengingat negeri Indonesia masih
memiliki fenomena paradoks pediatrik yang unik, jutaan anak mengalami
malnutrisi, sementara di lain sisi jutaan anak pula yang mengalami obesitas.
Faktor makanan ringan selain makanan rumah (jajan) diduga sebagai kambing
hitam. Belakangan ini, banyak anak-anak yang sudah kelewat gemuk.
Penambahan
ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya
jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang
menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih
banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel
lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat
dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.
Obesitas pada anak telah menjadi masalah
yang serius di Indonesia. Permasalahan obesitas tidak hanya masalah kelebihan
berat badan. Tetapi juga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti
terjadinya diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa), tekanan darah tinggi
(hipertensi), stroke, serangan jantung (infark miokardium), gagal jantung,
kanker (jenis kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker usus besar),
batu kandung empedu dan batu kandung kemih, gout dan artritis gout ,
osteoartritis, tidur apneu (kegagalan untuk bernafas secara normal ketika
sedang tidur, menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah), sindroma
Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk).
Obesitas juga sangat berpengaruh
terhadap sistem kardiovaskular. Sistem peredaran darah atau sistem
kardiovaskular adalah suatu sistem organ yang berfungsi memindahkan zat ke dan
dari sel. Sistem ini juga menolong stabilisasi suhu dan pH tubuh (bagian dari
homeostasis). Ada tiga jenis sistem peredaran darah: tanpa sistem peredaran
darah, sistem peredaran darah terbuka, dan sistem peredaran darah tertutup.
Komponen organ yang berperan dalam sistem kardiovaskuler antara lain jantung,
pembuluh darah nadi, pembuluh darah balik, paru-paru dan darah.
Penyakit kardiovaskuler merupakan
gangguan kesehatan yang terjadi pada bagian-bagian yang berhubungan dengan
sistem kardiovaskuler. Penampakan dari penyakit kardiovaskuler antara lain
stroke, artheriosklerosis, jantung koroner, gagal jantung, infrak dan wasir.
Beberapa sebab yang berakibat terjadinya penyakit kardiovaskuler antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, LDL teroksidasi, infeksi dan obesitas. Penyakit
kardiovaskuler yang tadinya banyak diderita oleh orang dewasa dan tua karena
berbagai sebab, sekarang juga terjadi pada anak-anak dan remaja. Menurut
Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007), studi terbaru menunjukkan proses
atherosklerosis di dalam dinding vaskuler pada anak-anak dan ada kecenderungan
meningkat.
Penyakit lain yang dijumpai pada
anak-anak adalah hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes mellitus type 2,
yang dulunya juga didominasi oleh orang dewasa dan tua. Dari berbagai penyakit
yang muncul di atas bila dirunut diawali adanya obesitas pada anak-anak.
Obesitas diasosiasikan dengan adanya abnormalitas metabolik (dyslipidemia, insulin
resisten dan hiperglikemia) dan hipertensi yang meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskuler (Katier et al., 2008). Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007) dan
Aggoun (2007) berpendapat ada hubungannya antara obesitas dengan terjadinya
artherosklerosis. Karena tingginya prevalensi obesitas pada anak dari hari ke
hari, para ilmuwan semakin serius memikirkan akibat buruk dari keadaan
tersebut, yakni terjadinya sindrom metabolik. Definisi entitas sindrom
metabolik ialah terdapatnya resistansi insulin diikuti dengan minimal tiga dari
gejala berikut, hipertensi, perubahan metabolisme glukosa, dislipidemia, serta
obesitas. Karenanya, bisa saja seorang anak mengalami obesitas tapi belum tentu
masuk kategori sindrom metabolik (Andra, 2007). Meskipun definisi sindrom metabolik
sudah relatif jelas terdeskripsikan pada orang dewasa, untuk menentukan pada
anak merupakan cerita lain.
Berdasarkan definisi Cook di dalam
Andra (2007) seorang anak dikategorikan mengidap sindrom metabolik jika
memenuhi komponen berikut, lingkar perut yang lebih besar dari persentil ke-90
pada kurva usia, jenis kelamin, dan etnis; gula darah puasa yang lebih tinggi
dari 110 mg/dl; tekanan darah yang lebih tinggi dari persentil ke-90 pada kurva
usia dan tinggi badan; trigliserida puasa yang lebih besar dari 110 mg/dl;
serta kolesterol HDL yang lebih rendah dari 40 mg/dl. Tentunya semua
pemeriksaan ini sangat bersifat tersier dan tidak mudah dilakukan di semua
rumah sakit di Indonesia.
Prevalensi sindrom metabolik itu
sendiri sangat berkaitan dengan obesitas pada anak. Weiss di dalam Andra (2007)
menyebutkan bahwa 30% anak dengan obesitas sedang menderita sindrom metabolik.
Sementara angkanya meningkat menjadi 50% pada anak dengan obesitas berat.
Selain itu pada studi yang dilakukan Weiss ini terdapat kesimpulan lain yang
melengkapi kejadian sindrom metabolik, yakni masalah utama terjadinya sindrom
metabolik ialah resistensi insulin di jaringan, serta masalah kedua ialah anak
yang obes akan mengalami peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).
Meski banyak yang mendukung kesimpulan di atas, namun ada juga yang meragukan
itu semua, dengan alasan bahwa glukosa darah merupakan status yang sangat mudah
berubah. Bisa saja seorang anak mengalami gangguan toleransi glukosa, atau
mungkin saja glukosa darah puasa terlihat normal namun sebenarnya tidak normal
pada glukosa post-prandial. Resistensi insulin kembali dipertanyakan sebagai
patogenesis terjadinya sindrom metabolik (Andra, 2007).
Pendapat terbaru menyebutkan bahwa pada
anak yang obesitas didapati terdapat disfungsi endotel vaskular, apalagi jika
didapati bahwa anak yang obesitas juga mengidap hipertensi. Melalui pemeriksaan
USG Doppler pada arteri karotis, Sorof di dalam Andra (2007) menunjukkan bahwa
anak yang obes akan mengalami penebalan tunika intima-media. Tidak diketahui
mengapa daerah ini menebal, namun diduga semuanya berkaitan dengan resistensi
insulin, obesitas, sindrom metabolik, aterosklerosis, dan tentunya mengakibatkan
hipertensi. Penelitian dari Rocchini di dalam Andra (2007) memberi hasil bahwa
anak obes yang mengalami penurunan berat badan ternyata juga akan mengalami
penurunan resistensi vaskular bersamaan dengan penurunan resistensi insulin.
Dengan demikian resistensi insulin dan resistensi vaskular sebenarnya sangat
berkaitan erat, meskipun tidak diketahui apa hubungannya. Resistensi insulin
dan resistensi vaskular memang penyebab utama sindrom metabolik. Namun
sebenarnya masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan disfungsi endotel,
di antaranya perubahan sistem renin-angiotensin-aldosteron, perubahan sistem
saraf simpatis, dislipidemia, peningkatan kadar endotelin, bahkan inflamasi
yang kronik. Bahkan studi yang akan datang mungkin akan mencari cara bagaimana menyekat
jalur-jalur inflamasi yang dapat membantu mencegah kelainan vaskular yang
ditemui di sindrom metabolik (Andra, 2007).
Pirgon dan Kivrak (2007), membandingkan
tekanan darah antara anak obes dan tidak obes, mendapatkan tekanan darah sistol
dan diastol pada anak obes lebih tinggi dibanding anak tidak obes. Katier et
al. (2008), pada penelitian yang sama mendapatkan anak dan remaja yang
mengalami obesitas terdapat pembesaran pada dinding ventrikuler sebelah kiri
(dinding posterior, septum dan indeks massa ventricular kiri) dan abnormalitas
pada pengisian diastol. Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007) juga mendapatkan total
kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL dan carotid artery IMT (tanda
awal artherosklerosis) pada anak obes lebih tinggi dibanding anak tidak obes.
Aggoun (2007), juga menyatakan bahwa pada anak obesitas di Korea ditemukan
konsentrasi tinggi dari total kolesterol, kolesterol LDL, trigliserida dan
konsentrasi rendah dari kolesterol HDL. Dan juga berhubungan dengan terjadinya
mikro-albuminuria dan insulin resisten atau meningkatnya level glukosa darah.
Aggoun (2007) berpendapat bahwa obes pada individu merupakan penampakan dari metabolic
syndrome yang diasosiasikan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular.
Sedangkan insulin resisten dinyatakan sebagai pusat terjadinya syndrom dan
menjelaskan kaitan antara obesitas dan vascular dysfunction. Obesitas
juga mempromosikan terjadinya praklinik artherosklerosis dengan merubah pengaruh
langsung pada fisiologi vaskuler. Besarnya timbunan adiposa pada anak-anak dan
remaja dikaitkan dengan tingginya penyakit kardiovaskuler. Beberapa laporan
menunjukkan adanya kerusakan fungsi vaskuler, yakni kerusakan endothelial-mediated
vasodilator yang merespon peningkatan aliran darah dan insulin. Pada anak
obes terdapat carotid artery IMT lebih banyak dan adanya kecenderungan
hipertensi. Obesitas pada anak juga dikaitkan dengan penurunan elastisitas
arterial, hal ini sama dengan kasus diabetes militus type 2 yang dapat
menurunkan elastisitas pembuluh darah. Penurunan elastisitas ini dapat
menyebabkan terganngunya aliran darah. Ada korelasi posistif antara tingkat
obesitas dan angka kejadian berbagai penyakit (infeksi). Chandra dan Kutty di
dalam Pudjiadi (1982) menunjukkan bahwa pada obesitas ditemukan gangguan pada cell-mediated
immune respon baik in vivo maupun in vitro, adanya penurunan
aktivitas bakteriosidal sel leukosit polimorfonuklear (PMN) dan kadar besi (Fe)
dan seng (Zn) yang rendah. Mereka memperkirakan bahwa gangguan mekanisme
imunologik pada obesitas disebabkan oleh adanya defisiensi besi dan seng yang
subklinis.