Monday, August 15, 2016

Dampak Obesitas Pada Anak Yang Harus Anda Tau



dampak obesitas pada anak

 Dampak Obesitas Pada Anak, Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi telah menciptakan suatu lingkungan dengan gaya hidup cenderung sadentari dan pola makan yang enak yang tinggi kalori dan lemak. Kelebihan asupan energi disimpan dalam jaringan lemak, lama kelamaan akan mengakibatkan terjadinya obesitas (Mahdia, 2004).


Era tahun 1990 sampai sekarang di Indonesia masalah gizi berubah, yang tadinya kurang gizi menjadi kecukupan gizi bahkan beberapa kelompok masyarakat mengalami masalah gizi berlebih. Meskipun ada juga beberapa orang dan daerah tertentu yang masih mengalami gizi kurang. Masalah gizi lebih yang dikenal dengan istilah obesitas (kegemukan) terjadi pada anak-anak, baik pada saat dilahirkan sampai usia remaja. Penelitian yang dilakukan di empat belas kota besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif tinggi, antara 10-20% dengan nilai yang terus meningkat hingga kini. Edukasi nutrisi anak pada orang tua terus digencarkan, mengingat negeri Indonesia masih memiliki fenomena paradoks pediatrik yang unik, jutaan anak mengalami malnutrisi, sementara di lain sisi jutaan anak pula yang mengalami obesitas. Faktor makanan ringan selain makanan rumah (jajan) diduga sebagai kambing hitam. Belakangan ini, banyak anak-anak yang sudah kelewat gemuk. 

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.

Obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Permasalahan obesitas tidak hanya masalah kelebihan berat badan. Tetapi juga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti terjadinya diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa), tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, serangan jantung (infark miokardium), gagal jantung, kanker (jenis kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker usus besar), batu kandung empedu dan batu kandung kemih, gout dan artritis gout , osteoartritis, tidur apneu (kegagalan untuk bernafas secara normal ketika sedang tidur, menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah), sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk). 

Obesitas juga sangat berpengaruh terhadap sistem kardiovaskular. Sistem peredaran darah atau sistem kardiovaskular adalah suatu sistem organ yang berfungsi memindahkan zat ke dan dari sel. Sistem ini juga menolong stabilisasi suhu dan pH tubuh (bagian dari homeostasis). Ada tiga jenis sistem peredaran darah: tanpa sistem peredaran darah, sistem peredaran darah terbuka, dan sistem peredaran darah tertutup. Komponen organ yang berperan dalam sistem kardiovaskuler antara lain jantung, pembuluh darah nadi, pembuluh darah balik, paru-paru dan darah.

Penyakit kardiovaskuler merupakan gangguan kesehatan yang terjadi pada bagian-bagian yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler. Penampakan dari penyakit kardiovaskuler antara lain stroke, artheriosklerosis, jantung koroner, gagal jantung, infrak dan wasir. Beberapa sebab yang berakibat terjadinya penyakit kardiovaskuler antara lain hipertensi, diabetes mellitus, LDL teroksidasi, infeksi dan obesitas. Penyakit kardiovaskuler yang tadinya banyak diderita oleh orang dewasa dan tua karena berbagai sebab, sekarang juga terjadi pada anak-anak dan remaja. Menurut Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007), studi terbaru menunjukkan proses atherosklerosis di dalam dinding vaskuler pada anak-anak dan ada kecenderungan meningkat.

Penyakit lain yang dijumpai pada anak-anak adalah hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes mellitus type 2, yang dulunya juga didominasi oleh orang dewasa dan tua. Dari berbagai penyakit yang muncul di atas bila dirunut diawali adanya obesitas pada anak-anak. Obesitas diasosiasikan dengan adanya abnormalitas metabolik (dyslipidemia, insulin resisten dan hiperglikemia) dan hipertensi yang meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler (Katier et al., 2008). Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007) dan Aggoun (2007) berpendapat ada hubungannya antara obesitas dengan terjadinya artherosklerosis. Karena tingginya prevalensi obesitas pada anak dari hari ke hari, para ilmuwan semakin serius memikirkan akibat buruk dari keadaan tersebut, yakni terjadinya sindrom metabolik. Definisi entitas sindrom metabolik ialah terdapatnya resistansi insulin diikuti dengan minimal tiga dari gejala berikut, hipertensi, perubahan metabolisme glukosa, dislipidemia, serta obesitas. Karenanya, bisa saja seorang anak mengalami obesitas tapi belum tentu masuk kategori sindrom metabolik (Andra, 2007). Meskipun definisi sindrom metabolik sudah relatif jelas terdeskripsikan pada orang dewasa, untuk menentukan pada anak merupakan cerita lain. 

Berdasarkan definisi Cook di dalam Andra (2007) seorang anak dikategorikan mengidap sindrom metabolik jika memenuhi komponen berikut, lingkar perut yang lebih besar dari persentil ke-90 pada kurva usia, jenis kelamin, dan etnis; gula darah puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl; tekanan darah yang lebih tinggi dari persentil ke-90 pada kurva usia dan tinggi badan; trigliserida puasa yang lebih besar dari 110 mg/dl; serta kolesterol HDL yang lebih rendah dari 40 mg/dl. Tentunya semua pemeriksaan ini sangat bersifat tersier dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit di Indonesia. 

Prevalensi sindrom metabolik itu sendiri sangat berkaitan dengan obesitas pada anak. Weiss di dalam Andra (2007) menyebutkan bahwa 30% anak dengan obesitas sedang menderita sindrom metabolik. Sementara angkanya meningkat menjadi 50% pada anak dengan obesitas berat. Selain itu pada studi yang dilakukan Weiss ini terdapat kesimpulan lain yang melengkapi kejadian sindrom metabolik, yakni masalah utama terjadinya sindrom metabolik ialah resistensi insulin di jaringan, serta masalah kedua ialah anak yang obes akan mengalami peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Meski banyak yang mendukung kesimpulan di atas, namun ada juga yang meragukan itu semua, dengan alasan bahwa glukosa darah merupakan status yang sangat mudah berubah. Bisa saja seorang anak mengalami gangguan toleransi glukosa, atau mungkin saja glukosa darah puasa terlihat normal namun sebenarnya tidak normal pada glukosa post-prandial. Resistensi insulin kembali dipertanyakan sebagai patogenesis terjadinya sindrom metabolik (Andra, 2007). 

Pendapat terbaru menyebutkan bahwa pada anak yang obesitas didapati terdapat disfungsi endotel vaskular, apalagi jika didapati bahwa anak yang obesitas juga mengidap hipertensi. Melalui pemeriksaan USG Doppler pada arteri karotis, Sorof di dalam Andra (2007) menunjukkan bahwa anak yang obes akan mengalami penebalan tunika intima-media. Tidak diketahui mengapa daerah ini menebal, namun diduga semuanya berkaitan dengan resistensi insulin, obesitas, sindrom metabolik, aterosklerosis, dan tentunya mengakibatkan hipertensi. Penelitian dari Rocchini di dalam Andra (2007) memberi hasil bahwa anak obes yang mengalami penurunan berat badan ternyata juga akan mengalami penurunan resistensi vaskular bersamaan dengan penurunan resistensi insulin. Dengan demikian resistensi insulin dan resistensi vaskular sebenarnya sangat berkaitan erat, meskipun tidak diketahui apa hubungannya. Resistensi insulin dan resistensi vaskular memang penyebab utama sindrom metabolik. Namun sebenarnya masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan disfungsi endotel, di antaranya perubahan sistem renin-angiotensin-aldosteron, perubahan sistem saraf simpatis, dislipidemia, peningkatan kadar endotelin, bahkan inflamasi yang kronik. Bahkan studi yang akan datang mungkin akan mencari cara bagaimana menyekat jalur-jalur inflamasi yang dapat membantu mencegah kelainan vaskular yang ditemui di sindrom metabolik (Andra, 2007). 

Pirgon dan Kivrak (2007), membandingkan tekanan darah antara anak obes dan tidak obes, mendapatkan tekanan darah sistol dan diastol pada anak obes lebih tinggi dibanding anak tidak obes. Katier et al. (2008), pada penelitian yang sama mendapatkan anak dan remaja yang mengalami obesitas terdapat pembesaran pada dinding ventrikuler sebelah kiri (dinding posterior, septum dan indeks massa ventricular kiri) dan abnormalitas pada pengisian diastol. Atabek, Pirgon dan Kivrak (2007) juga mendapatkan total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL dan carotid artery IMT (tanda awal artherosklerosis) pada anak obes lebih tinggi dibanding anak tidak obes. Aggoun (2007), juga menyatakan bahwa pada anak obesitas di Korea ditemukan konsentrasi tinggi dari total kolesterol, kolesterol LDL, trigliserida dan konsentrasi rendah dari kolesterol HDL. Dan juga berhubungan dengan terjadinya mikro-albuminuria dan insulin resisten atau meningkatnya level glukosa darah. Aggoun (2007) berpendapat bahwa obes pada individu merupakan penampakan dari metabolic syndrome yang diasosiasikan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular. Sedangkan insulin resisten dinyatakan sebagai pusat terjadinya syndrom dan menjelaskan kaitan antara obesitas dan vascular dysfunction. Obesitas juga mempromosikan terjadinya praklinik artherosklerosis dengan merubah pengaruh langsung pada fisiologi vaskuler. Besarnya timbunan adiposa pada anak-anak dan remaja dikaitkan dengan tingginya penyakit kardiovaskuler. Beberapa laporan menunjukkan adanya kerusakan fungsi vaskuler, yakni kerusakan endothelial-mediated vasodilator yang merespon peningkatan aliran darah dan insulin. Pada anak obes terdapat carotid artery IMT lebih banyak dan adanya kecenderungan hipertensi. Obesitas pada anak juga dikaitkan dengan penurunan elastisitas arterial, hal ini sama dengan kasus diabetes militus type 2 yang dapat menurunkan elastisitas pembuluh darah. Penurunan elastisitas ini dapat menyebabkan terganngunya aliran darah. Ada korelasi posistif antara tingkat obesitas dan angka kejadian berbagai penyakit (infeksi). Chandra dan Kutty di dalam Pudjiadi (1982) menunjukkan bahwa pada obesitas ditemukan gangguan pada cell-mediated immune respon baik in vivo maupun in vitro, adanya penurunan aktivitas bakteriosidal sel leukosit polimorfonuklear (PMN) dan kadar besi (Fe) dan seng (Zn) yang rendah. Mereka memperkirakan bahwa gangguan mekanisme imunologik pada obesitas disebabkan oleh adanya defisiensi besi dan seng yang subklinis.




Admin
Kesehatan Pria Dan Wanita Updated at: 5:10 AM